Sabtu, 30 Maret 2013

Kekerasan Seksual, Anak Semakin Rentan

Nyaris seluruh kasus kekerasan seksual pada anak baru terungkap setelah peristiwa itu terjadi, dan tak sedikit yang berdampak fatal. Kemampuan pelaku menguasai korban, baik dengan tipu daya maupun ancaman dan kekerasan, menyebabkan kejahatan ini sulit dihindari.

Selama Januari hingga Februari, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menerima 48 laporan kekerasan seksual pada anak, dari total 80 kasus kekerasan pada anak yang dilaporkan. Tahun 2012, sekitar 48 persen dari 2.637 kasus yang ditangani di Komnas PA adalah kasus kekerasan seksual pada anak.

”Kekerasan seksual pada anak ini sudah jadi fenomena gunung es. Yang tampak hanya sebagian kecil, tetapi yang sesungguhnya terjadi jauh lebih besar,” kata Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait, Rabu (20/2).

Menurut Arist, anak menjadi sangat rentan terhadap kekerasan ini karena hampir dari setiap kasus yang diungkap, pelakunya orang dekat korban. Tak sedikit pula pelakunya orang yang memiliki dominasi atas korban, seperti orangtua dan guru.

Kriminolog dari Universitas Indonesia, Romany Sihite, mengungkapkan, hampir setiap kekerasan seksual pada anak memang terjadi dalam pola relasi kekuasaan. Begitu pula kekerasan pada anak yang terjadi di dalam rumah tangga, itu terjadi akibat pola dominasi orangtua atau orang yang lebih dewasa terhadap anak.

Kekerasan seksual terhadap RI (10) dan PDF (19) merupakan gambaran nyata bahwa anak malah menjadi mangsa bagi orangtuanya. Padahal orangtua korban pun bukan pedofilia.

Orang dewasa normal

Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel menjelaskan, tak semua kekerasan seksual pada anak dilakukan orang dewasa yang memiliki orientasi seksual pada anak. Namun, itu juga bisa terjadi dengan pelakunya orang dewasa normal.

Reza menyebutkan, kedua macam orang itu bisa digolongkan pedofilia selama melakukan hubungan seksual dengan anak. Tipe pertama adalah pedofilia eksklusif, yaitu hanya memiliki ketertarikan pada anak. Tipe kedua adalah pedofilia fakultatif yang memiliki orientasi heteroseksual pada orang dewasa, tetapi tidak menemukan penyalurannya sehingga memilih anak sebagai substitusi.

”Pada pelaku pedofilia fakultatif, mereka umumnya melakukan hubungan seksual pada anak karena dia tidak mampu mengomunikasikan kebutuhannya kepada orang sebayanya. Latar belakang kendala untuk mengomunikasikan kebutuhannya itu relatif beragam,” ujarnya.

DP (42), pelaku kekerasan seksual terhadap anak kandungnya, PDF, pun mengakui, ada latar belakangan masalah di keluarganya. Namun, dia tak bersedia menyebutkan secara spesifik terkait masalah yang dihadapi.

Dia hanya mengaku kegiatan seksualnya dengan PDF bisa terjadi empat kali dalam seminggu. Namun, dia tak menampik melakukan itu pertama kali pada PDF dengan paksaan. Untuk selanjutnya, selama lima tahun berlangsung, dia cukup melakukannya dengan ancaman.

Reza menyebutkan, kekerasan seksual yang dilakukan di bawah kekerasan dan diikuti ancaman sehingga korban tak berdaya itu disebut molester. Kondisi itu menyebabkan korban terdominasi dan mengalami kesulitan untuk mengungkapnya.

Namun, lanjut Reza, tak sedikit pula pelaku kekerasan seksual pada anak ini melakukan aksinya tanpa kekerasan, tetapi dengan menggunakan manipulasi psikologi. Anak ditipu daya sehingga mengikuti keinginannya. ”Dalam psikologi forensik, pola ini biasa disebut grooming behaviour, penyaluran nilai-nilai kebaikan sehingga anak teperdaya,” katanya.

Anak sebagai individu yang belum mencapai taraf kedewasaan, menurut Reza, belum mampu menilai sesuatu sebagai tipu daya atau bukan. Oleh karena itu, lanjut Reza, setiap tindakan pelaku kekerasan seksual pada anak harus ditindak.

Bujukan

Kasus pencabulan terhadap 15 bocah laki-laki di Jatimulya, Cilodong, Depok, Jawa Barat, pun terjadi tanpa adanya kekerasan. Bahkan warga setempat mengenal pelaku WAR alias AR (38) sebagai orang yang baik dan suka bermain dengan anak laki-laki. Rumah yang ditempati WAR ini tepat di depan taman yang biasa dijadikan tempat anak-anak bermain.

Anak-anak suka jajan di rumah itu karena WAR suka mengiming-imingi jajanan atau mainan kepada bocah laki-laki. Tak disangka, kebaikan WAR ternyata hanya kedok untuk memancing bocah laki-laki berusia 8-11 tahun itu.

Dengan diiming-imingi jajanan, para bocah pun terjerat. Setelah memasuki rumah, para korban lantas diperlihatkan video porno di telepon genggam milik pelaku.

Saat si bocah tengah melihat gambar porno itulah, WAR melakukan aksi bejatnya. Ia meraba-raba, lalu menciumi si bocah. ”Kami sangat terpukul, sama sekali tidak menyangka karena orangnya terlihat baik meski jarang bergaul. Anak-anak juga suka bermain ke rumah itu karena sering diberi jajanan,” kata Indra Bangsawan, ketua RW setempat.

Sementara itu di Jakarta Selatan, Kepala Polsek Metro Kebayoran Baru Ajun Komisaris Besar Adex Yudiswan memperkirakan, mayat bocah laki-laki yang ditemukan di saluran air dekat Markas Polda Metro Jaya pada Senin (18/2) diduga korban pembunuhan.

Adex mengatakan, ada luka di bibir bagian dalam, identik dengan luka yang disebabkan pembekapan. Namun, untuk memastikan, polisi masih menunggu hasil otopsi.

Data yang dipublikasikan polisi, korban diperkirakan berusia 8-11 tahun, berat badan 38 kilogram, tinggi 144 sentimeter, rambut lurus, dan golongan darah B. Bocah ini memiliki ujung daun telinga lancip. Siapa saja yang merasa mengenal atau kehilangan anak ataupun sanak saudara dengan ciri-ciri tersebut diminta melapor ke Polsek Metro Kebayoran Baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar